Kamis, 27 Maret 2014

Pencegahan Korupsi dalam pewujudan Wawasan Nusantara

Korupsi merupakan tindakan yang memalukan suatu identitas bangsa. Korupsi pun juga merampas uang hasil jerih payah dan keringat rakyat. Sebenarnya,mungkin orang rela melakukan korupsi demi kepentingannya semata dan koruptor mungkin berpikir bahwa jika seandainya kasus korupsinya tersidak,hukumannya tetap tak sebanding dengan keuntungannya.
Untungnya,sudah ada badan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang tugasnya menyidak aktivitas para koruptor sehingga dapat ditindak secara hukum. Paling tidak, rakyat bisa menaruh kepercayaan kepada lembaga tersebut untuk menjalankan tugasnya yaitu memberantas korupsi.

Namun menurut saya, kita tidak bisa terus memberantas korupsi ini hingga hilang total karena memang sudah berakar dari pemerintahan sebelum-sebelumnya. Ada pepatah mengatakan "mencegah lebih baik daripada mengobati". Mungkin ada benarnya juga pepatah tersebut, tapi kalau dipikir-pikir lagi kalau sudah terlanjur ya diobati saja. Ya tidak ada yang salah dari kedua statement tersebut, yang salah kalau kita tidak ada usaha sama sekali untuk menyembuhkan.

Korupsi ini sama seperti penyakit, kalo sudah kena ini rasanya seperti menggerogot negara. Ya jalan satu-satunya memang benar harus "disembuhin". Tapi lebih baik juga dengan "mencegahnya", sehingga budaya korupsi ini tidak turun-temurun ke anak cucu kita. Menurut saya, pencegahan ini juga merupakan tindakan pengamalan tujuan Wawasan Nusantara yaitu mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mementingkan kepentingan nasional dari pada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa, atau daerah. Namun, hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan individu, kelompok, suku bangsa,atau daerah.

Pencegahan dapat dilakukan dengan diajarkan pendidikan pancasila,pendidikan kewarganegaraan dengan wajib kepada anak-anak kita sejak usia dini. Dan juga hukum bagi pelanggar korupsi dibuat dengan seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera dan efek "segan" bagi para orang yang mau nyoba-nyoba korupsi. Dan juga yang terutama dari yang terutama, kita harus memiliki rasa cinta kepada bangsa sendiri atau bisa dibilang "Rasa Nasionalisme" yang tinggi dengan bangsa Indonesia. Dengan mencintai bangsa sendiri, kita pasti tidak akan tega untuk merusak atau mencoreng nama bangsa di hadapan dunia Internasional. Jadi tetap, kembali kepada diri sendiri. Jangan harap kita mau korupsi tuntas 100% kalau dari dalam diri kita sendiri ternyata masih sering melakukan "korupsi" biarpun kecil-kecilan.



Sumber :

Kamis, 20 Maret 2014

Hubungan suatu pemerintahan dengan ketegasan akan pelanggaran HAM

Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat HAM adalah suatu hak istimewa yang kita peroleh sejak kita lahir di dunia ini. Bahkan,dimanapun manusia hidup tidak terlepas dari Hak Istimewa ini. Seakan hak ini adalah hak istimewa yang diberikan dari Tuhan untuk kita umat manusia. Namun banyak saya perhatikan di negara tercinta kita Indonesia,sangat banyak terdapat kasus pelanggaran HAM mulai dari penganiayaan,ketidakbebasan dalam menjalankan ibadah,dan lain-lainnya.

Hak Asasi Manusia menurut saya sangat penting untuk ditegaskan undang-undang hukumnya dan praktik di lapangan tentunya. Pengaruh suatu pemerintahan juga sangat mempengaruhi ketegasan akan pelanggaran HAM. Sebut saja yang saya contohkan negara Amerika Serikat,maupun beberapa negara di Eropa sangat menjunjung tinggi HAM. Itu faktor juga pemerintahannya sangat tunduk pada hukum di negara tersebut. Jadi jika seandainya ada pelaku pelanggaran HAM,maka kasus tersebut diadili dengan seadil-adilnya dan dihukum.

"Agak sedikit" berbeda dengan negara kita yang tercinta ini. Untuk kasus pelanggaran HAM,negara kita "masih sangat bisa toleransi" terhadap itu. Mungkin yang akan saya ambil contoh dalam kasus ini,seperti suatu Organisasi Massa yang sering menolak didirikannya bangunan ibadah. Bahkan ada yang lebih ekstrim,Ormas tersebut mengusir orang yang ingin beribadah (di gereja) dan gereja tersebut direncanakan untuk digusur oleh mereka. Alangkah anehnya kah,kepentingan suatu Ormas bisa mengalahkan hak-hak banyak orang untuk beribadah?

Dalam konteks ini,saya tidak bermaksud untuk menyalahkan negara kita Indonesia yang sudah terlalu "melenceng" jauh dalam penegakan hukum. Yang saya sesali,mengapa pemerintahan kita sekarang ini masih terlalu lembek dengan penegakan hukum dan ketegasan akan pelanggaran HAM. Kasus diatas yang saya angkat,cukup membuktikan bahwa pemerintahan kita masih "terlalu lembek". Bagaimana tidak,Ormas pun berani mengusik hak-hak sebagian banyak orang. Bahkan Ormas tersebut masih tetap ada dan berdiri kuat,padahal jelas-jelas ormas tersebut bisa saja mengancam persatuan nasional kita.

Dalam tulisan saya ini,jauh dari lubuk hati hanya berharap suatu ketika Indonesia memiliki pemimpin yang tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang tidak lembek dan sangat memperhatikan keadilan dan kemakmuran rakyat. Dengan pemerintahan yang kuat dan tegas,pastinya kasus pelanggaran HAM akan sedikit dan itu dapat membuat rakyat lebih merasa tentram dan aman. Dan juga tentunya para "pengancam persatuan nasional" kita pun tidak dapat lagi merusak pluralisme bangsa ini.


sumber


Kamis, 13 Maret 2014

Praktik Demokrasi Saat Ini Tak Jauh Beda dengan Masa Orba dan Orla

Sabtu, 20 April 2013 , 08:49:00 WIB
Laporan: Zulhidayat Siregar

Praktek demokrasi yang dijalankan saat ini tak jauh berbeda dengan masa Orde Lama dan Orde baru. Seperti pada masa lalu, saat ini, kekuasaan terpusat pada figur tunggal presiden.

"Alangkah memprihatinkan di zaman reformasi yang menjamin kehidupan multipartai, kebebasan pers, beorganisasi, unjukrasa, tapi prinsip demokrasi sarat dilanggari," ujar pengamat politik Martimus Amin (Sabtu, 20/4).

Dia menjelaskan, prinsip demokrasi begitu mudah dilanggar sehingga sangat telanjang hipokrit pejabat negara itu dipertontonkan. Satu sisi, Presiden SBY mengingatkan keras menteri-menteri untuk tidak sibuk urus partai. 

"Namun ia malah sendiri merangkap jabatan dan gunakan fasilitas negara 'Istana' berkomentar masalah partainya," imbuh Martimus.

Bahkan seluruh menteri asal partai Demokrat seenaknya dicalonkan sebagai Caleg DPR RI. Sementara menteri yang dikecamnya yang pernah dikecammnya PPP malah tidak satupun maju pada pemilihan legislatif 2014 mendatang.

Tak hanya itu, Martimus juga menyoroti kontrol legistatif maupun unjuk rasa mahasiswa dalam pengusutan kasus Century, BLBI, rekening gendut polisi, skandal Istana, hanya dalam kepura-puraan.
"Chek and balances hanya sekadar memenuhi prosedur demokrasi," ungkapnya.

Yang teranyar, Undang-Undang yang seharusnya dihormati dan dipatuhi, justru dicurangi sendiri oleh wasit Pemilu yaitu KPU.

Berdasarkan aduan kepada Majelis Kode Etik DKPP, jelas Martimus, dari verifikasi adminisitrasi dilakukan KPU ter tanggal 25 Oktober 2012 menunjukkan, PKS, Golkar, Hanura, dan PPP tidak lolos keterwakilan kepengurusannya di beberapa Provinsi karena tidak mencapai 75 persen di tingkat Kabupaten/ Kota.

Menurutnya, hal ini sungguh menggelikan, partai yang tidak penuhi syarat diloloskan, apalagi menggelembungkan suara untuk partai tertentu. 

"Melihat kondisi demokrasi sekarang, kita hanya dapat menjerit 'ampuun'. Sampai kapankah Indonesia menjadi bangsa besar dan tuntas membangun demokrasinya, karena semakin hari semakin barbar," tandasnya. [zul]



Analisis : 
Praktik demokrasi di Indonesia tak begitu beda jauh dengan praktik Demokrasi yang sudah ada sejak Orde lama hingga Orde baru. Di awal mula Orde Reformasi ini,padahal sangat digalangkan tentang Demokrasi. Namun pada dasarnya,praktik demokrasi yang terjadi dari awal Orde Reformasi hingga sekarang masih sering dilanggar.
Bahkan banyak keputusan pemerintah juga yang terkadang kurang sejalan dengan yang rakyat inginkan,dan seolah-olah rakyat mau tidak mau harus menerima kenyataan. Contoh salah satu singkatnya seperti kenaikan harga BBM.
Demokrasi yang terdapat di Indonesia bukanlah sepenuhnya lagi Demokrasi Pancasila,namun lebih tepatnya Demokrasi Kebablasan. Banyak Partai Politik yang tak memenuhi syarat untuk lolos,malah diloloskan. Dan bahkan Demokrasi ini di Indonesia sangat dekat dengan praktik Kolusi,Korupsi & Nepotisme.
Yang hanya saya kuatirkan,bagaimana jika rakyat sampai merasa bahwa seorang pemimpin yang mereka pilih ternyata bukanlah pemimpin yang tepat. Itu tentu bisa menimbulkan kehilangan kepercayaan kepada pemimpin Negeri ini.



Sumber